KENDARI, KABARTERKINISULTRA.COM – Menuliskan ulasan sederhana ini memerlukan keberanian. Bisa saja saya terhakimi publik. Tapi itulah resiko berpendapat di negeri ini. Kita tidak bisa mengendalikan apa persepsi orang terhadap kita.
Bagaimanapun sentimen emosional harus dipisahkan. Seperti sentimen antipati terhadap kepolisian, sentimen peliknya nasib guru honorer (apalagi jika dikriminalkan), sentimen sulitnya mendapat keadilan di negeri ini yang cenderung bersemayam di sanubari masyarakat kita.
Kita harus murni melihat, mengidentifikasi alur data, fakta, informasi, isu dan hoaks. Memisahkan sentimen, kesedihan yang bukan pada tempatnya. Untuk kemudian mencari solusi yang terbaik tanpa harus membuat polusi.
Berhembusnya beberapa isu terkait Kasus Supriyani memantik amarah publik. Ada 3 hal yang menjadi isu utama. Pertama, korban adalah anak polisi yang dengan kekuatan kepolisiannya mampu mengatur-atur kasus ini. Kedua, ada permintaan uang 50 juta untuk damai. Ketiga, karena tidak mampu membayar uang damai Supriyani akhirnya ditahan oleh kepolisian.
Media sosial dengan keunggulan kecepatannya mengalirkan informasi dengan cepat. Ampuh menggiring netizen emosional dalam 3 isu utama di atas. Keberimbangan klarifikasi pun jadi terabaikan. Padahal wajib bagi kita untuk melihat informasi ini dari kedua sisi. Seperti harusnya media-media kita melakukan cover both side dalam setiap pemberitaannya.
Ketakutan saya adalah desain isu Kasus Supriyani menyembunyikan banyak misteri. Terlalu banyak “Argumentum Ad Misericodiam” yang cenderung disukai oleh netizen Indonesia, yang begitu kuat daya bacanya namun tidak dengan daya bacanya. Harus ditelisik lebih jauh 3 isu diatas, jangan sampai kita di “prank” seperti banyak fenomena isu di negeri ini.
Menjawab isu pertama, ini akan terjawab dengan memperhatikan tenggang waktu penyidikan dan terpenuhinya syarat ditetapkannya Tersangka bagi Supriyani. Sebagai data awal, kasus ini dilaporkan pada April. Telah terjadi mediasi beberapa kali. Kemudian ditahan di bulan Oktober.
Tenggang waktu untuk pemberkasan perkara dari pelaporan sampai penahanan sudah tepat. Kemudian telah terjadi mediasi beberapa kali menunjukan adanya niatan restoratif justice sebagaimana paradigma sistem peradilan perlindungan anak.
Tercatat beberapa pemberitaan yang menyebutkan kasus ini dikebut. Dengan melihat range waktu tersebut jelas terbantahkan. Kemudian pemberitaan bahwa Supriyani dijebak mengaku, ini akan terbuka dalam persidangan. Kalau memang dijebak, harusnya tidak terjadi mediasi berulang-ulang. Jika mengikuti dugaan itu harusnya setelah dijebak, buktinya cukup maka Supriyani langsung Tersangka, langsung ditahan. Kalau memang tidak sesuai prosedur harusnya pihak Supriyani ajukan praperadilan.
Kedua, persoalan permintaan uang 50 Juta untuk damai. Hal ini justru dibantah oleh Supriyani sendiri yang menyebutkan bahwa inisiatif itu bukan dari pihak korban/kepolisian namun dari kepala desa. Notabene awalnya muncul pemberitaan bahwa Supriyani diperas oleh penyidik. Kemudian muncul pula klarifikasi kepala desa yang relevan dengan pengakuan Supriyani.
Untuk menguji bahwa apakah benar diperas, perlu diidentifikasi siapa pelakunya dan motifnya apa. Persoalan siapa pelakunya terjawab oleh Supriyani. Persoalan motifnya akan terjawab bahwa jika 50 juta itu adalah kompensasi agar damai ; Supriyani tidak ditahan, harusnya pihak yang menahan Supriyani adalah kepolisian itu sendiri (yang dituduh mengatur-atur perkara ini). Namun kenyataannya, penahanan itu dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Kemudian ditangguhkan oleh ketua pengadilan.
Ketiga, bahwa fakta Supriyani ditahan. Ini jelas dilakukan oleh jaksa penuntut umum pasca berkas dinyatakan lengkap. Kemudian karena desakan publik akhirnya ditangguhkan. Notabene yang menangguhkan adalah ketua pengadilan, bukan jaksa penuntut umum. Selama proses di kepolisian Supriyani tidak ditahan. Bahkan di mediasi beberapa kali dengan melibatkan UPTD PPA, KPAD, kepala desa, kepala sekolah.
Banyak pihak yang cenderung berkesimpulan didasari oleh sentimen yang terlanjur terbangun dalam paradigma masyarakat. Namun bagaimanapun kebenaran harus terkuak. Itu harus diteliti dan diperjuangkan. Arahnya jelas, kita bukan lagi saling menghukum atau saling menghabisi. Melainkan merestorasi, memulihkan sepeti kondisi semula, seperti esensi keadilan restoratif dalam pemidanaan baru kita.
Ulasan ini sangat sederhana. Tentu masih banyak yang ingin saya ulas. Namun penting untuk memastikan real dan validnya data yang ada, sembari menunggu waktu mengurai jejak-jejak kebenaran. Namun tak ada salahnya memperediksi keadaan yang akan terjadi. Karena sejauh ini warna dari peristiwa ini mulai mencolok. Tidak sesamar kemunculannya.
Aspek desakan sosial adalah salah satu variabel berpengaruh dalam penegakan hukum kita. Keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum selalu menjadi debatabel. Namun merebut simpati publik adalah hal yang sangat menggiurkan bagi sebagian orang. Ini akan jadi faktor utama.
Ada dua hal yang kemungkinan akan terjadi dari perkara ini :
Pertama,
Bola liar kasus ini menggelinding di kaki jaksa penuntut umum. Happy ending cenderung akan jadi pilihan terbaik. Bagaimanapun opini sudah dikuasai oleh publik, menekan bahwa Supriyani harus dibebaskan.
Saya menduga bahwa jaksa penuntut umum akan mengunci peran sebagai pihak yang akan memunculkan opsi ini. Dengan kewenangan bisa menuntut bebas Supriyani. Yah, karena di kepolisian sudah terkunci ; yakin bahwa Supriyani bersalah dan proses mediasinya gagal, meskipun sudah berupaya memediasi hingga diujung waktu.
Dengan arus besar opini publik, jaksa penuntut umum bisa saja akan bersikap inkonsisten. Meski dalam dakwaannya menuntut bahwa Supriyani bersalah namun dituntutannya Supriyani akan dituntut bebas. Dalam hal ini tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Melihat jumlah bukti yang diajukan dan rentang waktu proses pemberkasan perkara, satu-satunya hal yang bisa membebaskan Supriyani adalah niat dan sikap batinnya dalam melakukan tindakannya (mens rea).
Meskipun secara teoritis ini masih bisa diperdebatkan, namun inilah satu-satunya argumentasi hukum yang bisa membuat Supriyani bebas. Dan pilihan ini menggiurkan ; siapa yang membebaskan Supriyani akan meraih simpati publik.
Kedua,
Skenario membebaskan Supriyani akan jadi pilihan dari pihak Supriyani sendiri. Cara yang paling simpel dan aman adalah mengakui kesalahannya bahwa benar ia memukul. Meskipun hal ini mengkonfirmasi bahwa tindakan kepolisian sudah benar. Polisi meskipun sudah benar namun publik sudah terlanjur menyalahkan secara membabi buta. Supriyani sudah memenangkan opini publik.
Pilihan ini jelas tidak merugikan Supriyani, karena memukul murid di negeri ini sudah menjadi barang yang lazim. Orang akan berpendapat bahwa dia wajar memukul, karena tujuannya membina. Meskipun menyebabkan lecet atau bahkan melanggar hukum.
Supriyani akan meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Dalam Perma 1/2024 ini bisa saja terjadi sebelum dilakukan penuntutan. Jika terjadi kesepakatan antara korban (bukan jaksa penuntut umum) dan terdakwa dan dilakukan dihadapan persidangan maka Supriyani akan bebas dan meraih banyak keuntungan. The winner takes it all. Dia bebas, dan menjalani statusnya bukan lagi sebagai guru honorer dengan memenangkan simpati publik sebagai pejuang keadilan.
Terakhir, mungkin saja dua hal di atas tidak akan terjadi jika jaksa penuntut umum konsisten dalam menegakan kepastian hukum dan pihak korban tidak memaafkan Supriyani. Namun kita lihat saja. Harapan saya adalah semua pihak harus dipulihkan kondisinya, tidak boleh perkara ini terdistorsi, termanfaatkan dan tertunggangi kepentingan lain. Kita fokus bagaimana keadilan restoratif bisa tercapai.
Seperti kata Pram, berlakulah adil sejak dalam pemikiran.
Penulis: La Ode Muhram Naadu SH,MH (Akademisi Hukum)
Komentar