KENDARI, KABARTERKINISULTRA.COM – Direktur Utama (Dirut) PT Bumi Arum Lestari, Kadek Sukra Astara dituding sebagai otak intelektual dibalik dalam kasus dugaan mafia tanah, yang baru-baru diungkap Polda Sulawesi Tenggara (Sultra), dengan menetapkan dua tersangka, Radiman dan Karmudin.
Tudingan itu datang dari Kuasa Hukum Wa Haderan (Alhamarhumah) Rusman Malik, dan Rusmin Liga yang keduanya mengklaim lahan milik mereka yang terletak di Kelurahan Mokau, Kecamatan Kambu, Kota Kendari telah diserobot, dan dibalik aksi terdakwa itu disutradarai Dirut PT Bumi Arum Lestari.
“Polda harus memanggil Kadek Sukra Astara. Perlu diperiksa apa ada keterkaitan terkait aksi mafia tanah dengan dirinya,” ujar dia dalam rilis yang diterima awak media ini, Jumat (10/5/2024).
Dugaan keterlibatan Kadek, diperkarsai dengan adanya laporan PT Bumi Arum Lestari di Polda atas dugaan tindak pidana penggelapan hak atas barang/benda tidak bergerak dan atau memasuki pekarangan tanpa izin.
“Bahwa kami menduga Direktur PT Bumi Arum Lestari yang bergerak di bidang properti, adalah aktor intelektualnya dalam perkara mafia tanah yang terbesar di Kota Kendari, yang merugikan negara dan masyarakat pada khususnya sebanyak Rp337 M,” katanya.
Sementara itu Rusmin Liga, dugaan keterlibatan Kadek Sukra Astara amat kuat. Pasalnya, tanah miliknya saat ini sudah terbit Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas nama kadek Sukra Astara.
“Tanah saya, justru Kadek sudah melakukan pembayaran PBB di Dispenda Kota Kendari. Nah ini perlu ditelusuri oleh pihak kepolisian terkait keterlibatannya,” terang Rusmin Liga.
Menjawab tudingan keduanya, Kuasa Hukum PT Bumi Arum Lestari, Tri Mandala P mengatakan bahwa kliennya tidak pernah melaporkan siapapun di Polda Sultra, sebagaimana dimaksudkan Kuasa Hukum Wa Haderan.
“Jadi, kayaknya Kuasa Hukum dari Wahaderan ada kesalahan dalam membaca berita atau berkas, sehingga dia menganggap yang melaporkan dia adalah pemilik PT Bumi Arum Lestari,” kata dia saat dikonfirmasi.
Diluruskannya bahwa, sesungguhnya yang melaporkan Wa Haderan dan Rusmin Liga Polda adalah Karmuddin dan Radiman soal dugaan penggelapan hak atas tanah atau penyerobotan.
Sebab, Karmudin dan Radiman mereka menganggap sejak tahun 2010 mereka telah menguasai dan memiliki objek tanah yang terletak secara bersama-sama, termaksuk Yudin (Almarhum) seluas 40 hektar, yang turut pula diklaim dan diperjualbelikan Rusmin Liga dan dimasuki oleh Wa Haderan di tahun 2020.
“Itu yang menjadi materi laporan, dan yang melaporkan adalah Kuasa Hukum pak Karmudin dan Radiman saat itu,” jelasnya.
Perihal tudingan keterlibatan kliennya, ia menerangkan apa yang disampaikan Rusmin Liga dan Rusman Malik, tidak berdasar. Dimana, hubungan kliennya dengan Radiman dan Karmudin, hanya sebatas mitra dalam kepentingan hal jual beli lahan.
Yang mana, dia menceritakan, saat itu kliennya mendengar bahwa Karmudin Radiman, dan Yudin ini menang atas sebuah objek tanah yang diperkarakan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Kendari.
Dia mencatat, 12 gugatan yang diajukan para pelapor yang merasa lahan mereka telah dikuasai Radiman, Karmudin dan Yudin. Dari 12 gugatan itu, semuanya di menangkan Radiman, Karmudin, dan Yudin, bahkan sampai pada putusan peninjauan kembali (PK).
Bahkan pada saat sita jaminan, Karmudin, Radiman dan Yudin juga dimenangkan sebanyak 12 kali, dan sudah pula dilakukan eksekusi diatas objek tanah oleh PN Kota Kendari.
“Sehingga tertariklah pak Kadek Karena menganggap putusan tersebut telah berkekuatan hukum mengikat. Kenapa pak Kadek yakin, karena dia yakin putusan tersebut kredibel, dan sah secara hukum,” ungkapnya.
Adapun ada pihak yang mempertanyakan, dan meragukan putusan pengadilan tersebut, dia menganggap sudah tidak rasional dalam berfikir. Menurutnya keraguan pihak-pihak yang merasa terdzolimi telah menciderai kewenangan peradilan.
Sebab, 12 putusan pengadilan, kemudian dianggap tidak sah, dan seolah-olah tidak dimenangkan Radiman, Karmudin dan Yudin yang sejatinya telah melalui proses peradilan sejak 2018, dan berakhir pada 2021 lalu.
“Kemudian, yang mempertanyakan ini kapabilitasnya apa. Uji materi dan sebagainya telah dilakukan saat di pengadilan. Harusnya, kalau berkas-berkasnya lengkap, ditampilkan di pengadilan bukan di lapangan,” tutur dia lagi.
“Negara menjamin dimana masyarakat bersengketa, pengadilan adalah tempat mencari keadilan. Ketika ada satu orang tidak menganggap putusan pengadilan benar, terus dimana lagi masyarakat mencari keadilan,” sambungnya.
Tri Mandala pun menantang para pihak yang menganggap 12 putusan tersebut, tidak kredibel dan sah secara hukum, dan mempersilahkan untuk mengeluarkan pendapat, dimana letak kesalahan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap.
“Proses persidangan berlangsung sejak 2018 dan selesai PK tahun 2021. Jatuh sita jaminan, setelah itu sita eksekusi ada perlawanan hukum dan itu sah dan dilakukan oleh pihak-pihak yang telah membeli dari Rusmin Liga atau pihak-pihak lain yang turut dieksekusi tanahnya,” imbuhnya.
Dia menambahkan, hingga sampai saat ini lahan tersebut belum dibeli kliennya, dan masih menjadi hak milik tanah atas nama Karmudin, Radiman dan Yudin. Adapun diakuinya, para pemenang dan kliennya ada kesepakatan lisan, bahwa kliennya akan membeli tanah tersebut, ketika sudah bersertifikat, dan secara hukum itu sah.
Tetapi secara resmi belum pindah tangan, dari pemilik lahan ke kliennya selaku calon pembeli. Sebab, kliennya masih menunggu penerbitan sertifikat, dan pengurusan sertifikat sementara sedang berproses, sebagaimana PN Kota Kendari memerintahkan bahwa setelah 12 putusan inkrah, maka pihak pemenang mesti berurusan dengan lembaga terkait untuk menerbitkan sertifikat diatas objek.
“Sehingga menurut saya, statement yang dikeluarkan oleh Rusmin Liga itu sangat tidak berdasar, dan itu adalah efek-efek bias yang dilakukan oleh orang yang kalah untuk mencari kambing hitam terhadap kekalahannya. Harusnya, pada saat dia merasa positioning dalam berperkara itu benar, selesaikan di pengadilan,” jelas Tri Mandala.
Terakhir, ia meminta kepada seluruh pihak untuk menghargai proses hukum yang tengah dijalani terdakwa Radiman dan Karmudin ihwal kasus dugaan pemalsuan surat atau dokumen.
“Negara menjamin bagi warga negara yang sedang berproses diduga melakukan pidana maka diuji di pengadilan dan selama itu prosesnya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka orang itu tidak bisa dikatakan bersalah. Jika ada yang mengatakan bersalah, maka dia mencederai proses hukum itu sendiri,” tukasnya.
Editor: Anugerah
Komentar