KENDARI, KABARTERKINISULTRA.COM -Ratusan warga Desa Kalo-Kalo, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara (Sultra), harap-harap cemas, bagaimana tidak. Tanah yang mereka tempati puluhan tahun mencari nafkah ternyata dimasuk dalam kawasan konservasi suaka marga satwa tanjung botikolo.
Kepala Desa Kalo-kalo, Ramly Kadir yang telah ditemuai disalah satu warkop dibilangan kota Kendari memyebut sejak tahun 1967 an orang tuanya mengarap lahan tersebut, bahkan lahan kurang lebih 150 hektar itu sudah menjadi lahan garapan masyarakat setempat sebagai mata pencahariannya,
“Dari mana pihak BKSDA mengambil titik, tiba-tiba di tahun 1995 di tetapkan sebagai kawasan konservasi suaka marga satwa tanjung botikolo, sementara orang tua kami dulu menggarap lahan tersebut di tahun 1967,” kata Ramly belum lama ini.
Untuk itu, 125 Kepala keluarga (KK) yang menggantungkan hidupnya di lahan tersebut akan berjuang mempertahankan haknya,
“Kami sudah beberapa kali melakukan pertemuan pemerintah setempat maupun BKSD Provinsi namun tidak ada titik penyelesaian, bahkan kami hanya di tawarkan sebagai mitra untuk mengolah lahan tersebut, sementara lahan itu milik kami, lahan itu sudah ada yang bersetifikat,” katanya.
Ramly memyebut, jika BKSD hanya melakukan kemitraan terhadap lahan tersebut, tentunya warga akan menolak, karena lahan itu tidak sepenuhnya akan dimiliki warga.
“Tentu kami menolak permintaan kemitraan itu, sebab kami tidak sepenuhnya mengusai lahan itu, bahkan kami tidak bisa jual atau mewariskan ke anak cucu kami, karena ada kontrak kemitraan dengan pemerintah,” kesal Ramly.
Ramly berharap kepada pemerintah agar lahan yang digarap puluhan tahun warga tersbut di beri sepenuhnya agar bisa menjadi mata pencaharian keberlangsungan hidupnya hingga anak cucunya di kemudia hari.
“Saya juga tidak tenang sebagai kepala desa, karena saya mau buat program tapi terhalang dengan atau di hadapkan dengan status tanah berada di kawasan konservasi, bahkan program seperti pertanian untuk membangun desa mandiri tidak bisa kami lakukan karena terhalangan dengan status kawasan konservasi,” katanya
Ramly berharap dan meminta kepada pemerintah setempat agar lahan yang kini menjadi mata pencaharian satu-satunya warga desa kalo-kalo tidak di masukkan ke dalam kawasan konservasi suaka marga satwa tanjung botikolo.
Sementara itu, Kepala BKSD Sulawesi Tenggara (Sultra), Sakrianto Djawie mengatakan permasalahan yang terjadi di desa kalo-kalo akan segerah diselesai dengan baik dengan memberikan program kemitraan konservasi.
“Untuk kegiatan masyarakat didalam sejak dikeluarkannya UJK lima tahun ke atas maka akan di akomodir melalui kemitraan konservasi, dalam hak ini masyarakat didalam tetap melakukan operasionalnya, namun tetapi ada program pemulihan ekosistem, jadi kita tetap biarkan mereka menanam tanaman pertanian didalam lahan itu, ” kata Sukri sapaan akrabnya Sukrianto Djawie.
Sukri menyebut, dengan ada kemitraan terhadap masyarakat setempat tentu akan lebih bagus sebab akan ada payung hukum yang melindungi mengolah lahan tersebut.
“Ini kita mau selesaikan dengan baik, jika ada masyarakat yang sudah menerbitakan sertifikatnya tentu kita akan berkoordinasi dengan pertanahan,” ucapnya.
Sukri menyebut, pihaknya meminta kepada masyarakat setempat untuk saling kerja sama, sebab pemerintah akan menyelesaikan sendan baik,
“Ini lagi kita sementara inventalisir data-datanya siapa-siapa pemiliknya, sudah ada data sementara hanya saja kami tentu kembali akan menvailidkan sehingga di butuhkan kerja sama masyarakat setempat karena ini kita mau selesaikan,” katanya.
Sukri menambahkan, jika masyarakat mengklaim dirinya menggarap laham itu sejak tahun 1967 silam sebelum di tetapkan sebagai kawasan konservasi di tahun 1995 dirinya tidak berdali tidak banyal berargumen soal itu,
“Okelah mereka berargumen seperti itu, tapi rekaman datanya ada di selit, masuknya kapan, duluan mana kawasan mereka datang dan itu akan terekam di foto satelit dan itu tidak bisa di pungkiri,” ucapnya.
Editor: Anugerah
Komentar