Jawab Narasi Eksekusi Tak Bisa Dijalankan Karena HGU Berakhir, Fraktisi Hukum Sebut Membaca UU Harus Utuh

Kendari166 Dilihat

KENDARI, KABARTERKINISULTRA.COM -Menanggapi narasi yang menyebut eksekusi sengketa tanah tidak bisa dijalankan karena masa HGU telah berakhir, seorang analis administrasi pertanahan sekaligus praktisi hukum menyatakan bahwa alasan tersebut hanya mengambil potongan pasal tanpa melihat konteks hukum secara menyeluruh.

“Hukum tidak bisa dicomot seenaknya. Pasal harus dibaca utuh dan dikaitkan dengan asas serta aturan lain. Putusan pengadilan yang inkracht tetap mengikat dan tidak gugur hanya karena masa HGU berakhir,” kata dia yang enggan disebutkan identitasnya, Selasa (30/9/2025).

*Putusan Inkracht adalah Final dan Mengikat*

Pasal 1917 KUH Perdata menegaskan, putusan yang sudah inkracht memiliki kekuatan res judicata dan mengikat para pihak. Pasal 195 ayat (1) HIR menegaskan, putusan tersebut wajib dilaksanakan secara paksa melalui eksekusi.

Jadi, dalih bahwa HGU sudah habis tidak bisa membatalkan perintah pengadilan. Membaca Pasal UUPA dan PP 40/1996 harus secara utuh.

Kemudian, kata dia benar Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan HGU hapus ketika jangka waktunya berakhir. Namun pasal ini tidak pernah menyatakan bahwa hak keperdataan yang sudah diputus pengadilan ikut hapus.

BACA JUGA :  PT TMBP Diduga Melakukan Aktivitas Pertambangan Ilegal, KAST Desak Kejati Sultra Periksa Wakil Bupati Kolaka

Justru, Pasal 2 ayat (2) huruf g PP Nomor 18 Tahun 2021 membuka ruang agar tanah negara dapat ditetapkan kembali kepada pihak tertentu, termasuk sebagai tindak lanjut putusan pengadilan.

*Negara Tidak Boleh Mengabaikan Putusan*

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil. Jika negara menolak melaksanakan eksekusi putusan dengan alasan tanah sudah kembali ke negara, negara sendiri yang melanggar konstitusi.

Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 juga menegaskan, penguasaan negara atas tanah bukan berarti kepemilikan absolut, melainkan mandat untuk mengatur sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mengabaikan putusan inkracht justru bertentangan dengan mandat konstitusi. Yurisprudensi tegas melawan dalih administratif.

“Sejumlah putusan Mahkamah Agung membantah argumen “eksekusi gugur karena HGU habis,” jelasnya.

MA Nomor 1766 K/Pdt/2001, eksekusi tetap sah meski ada perubahan administrasi, karena yang dilindungi adalah hak perdata, dan MA Nomor 1051 K/Sip/1971, alasan administratif tidak boleh menghalangi eksekusi.

BACA JUGA :  Terbukti Garap Kawasan Hutan Tanpa PPKH,  Kejati Sultra Diminta Periksa Direktur PT Tonia Mitra Sejahtera 

“Artinya, putusan inkracht tidak bisa ditawar hanya karena status HGU berubah, dan menghalangi Eeksekusi bisa di pidana,”

Kemudian, Pasal 212 KUHP menjelaskan barang siapa dengan kekerasan melawan pejabat saat menjalankan tugas sahnya, dapat dipidana. Lalu, Pasal 216 KUHP menyebut barang siapa tidak patuh terhadap perintah pejabat menurut undang-undang, dapat dipidana.

“Pasal 217 KUHP, menghalangi eksekusi putusan pengadilan adalah tindak pidana. Dengan demikian, pihak yang menggunakan dalih “HGU habis” untuk menghalangi eksekusi justru bisa masuk jerat pidana,”

Sehingga kesimpulannya, dalih bahwa putusan kehilangan objek karena HGU berakhir hanyalah pasal comotan yang dipakai untuk membenarkan kepentingan tertentu. Membaca hukum secara utuh justru menegaskan putusan inkracht wajib dieksekusi.

Status tanah negara tidak menghapus hak keperdataan pemenang perkara. Negara wajib menyesuaikan administrasi pertanahan, bukan membatalkan putusan.

“Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Putusan inkracht adalah perintah negara. Eksekusi pasti jalan. Melawan? Siap-siap pidana,” tutup analis administrasi pertanahan itu.

 

Editor: Anugerah

Komentar